28 February 2009

Kesan Pertama

Kesan Pertama, Bagian Pertama.

Hari minggu yang lalu saya pergi ke gereja IFGF yang di Arcadia untuk pertama kalinya. Seperti biasa, selalu timbul rasa malas dengan sejuta alasan kalau ingin berangkat ke gereja, apalagi kalau berada ditempat baru dan untuk pertama kali. Tapi akhirnya saya berangkat juga, dibantu GPS di netbook baru saya – dari ujung kota yang satu ke ujung kota yang lain – dari daerah pantai di South Bay tempat saya tinggal ke daerah pinggir gunung di bagian utara. Sepanjang perjalanan, saya menikmati “urban landscape” LA yang sarat dengan ekstrimitas gado-gado gaya arsitektur tapi juga diselingin dengan “vignettes” pemandangan perpaduan alam dan infrastruktur yang spektakuler.

Begitu tiba, saya cukup kagum dengan komplex bangunan yang baru mereka beli dan gunakan beberapa tahun terakhir ini. Bangunan itu terdiri dari dua gedung komersial dalam kondisi sangat bagus, dengan parking lot luas, dan terletak di lingkungan retail-residential yang strategis. Beberapa saat ketika masih di tempat parkir dan ketika pulang, saya sempat merenungkan hal-hal yang berhubungan dengan bangunan gereja mereka itu. Dan hasil renungan itu yang ingin saya bagikan dulu di dalam tulisan ini sebelum saya melanjutkan dengan kesan-kesan pertama saya yang lain.

Usaha membeli gedung-gedung komersial seperti yang dilakukan oleh IFGF LA dan juga beberapa IFGF lainnya di Amerika Serikat mempunyai dimensi kultural dan spiritual yang lebih penting. Pertama, secara kultural. Sesekali di berita hati kita terenyuh mendengar bangunan-bangunan bekas gereja tua yang dibeli dan diubah menjadi bangunan komersial, hiburan/rekreasi, atau tempat ibadah agama lain. Tapi gereja kita secara keseluruhan justru sedang bergerak kearah sebaliknya dan sebisa mungkin mengadaptasikan gedung-gedung komersial untuk kepentingan ministry dan pelayanan. Mungkin ada orang-orang yang melihat usaha ini sebagai suatu “economic necessity” atau keterpaksaan keadaan, tapi saya justru melihat ini sebagai salah satu fenomena pekerjaan Tuhan.

Kedua, secara spiritual. Bangunan-bangunan komersial pada umumnya dibangun berdasarkan prinsip ekonomi: Menghasilkan pendapatan sebanyak mungkin dengan pengeluaran yang sekecil mungkin. Setiap inci ruang harus dibangun se-efisien mungkin dan menghasilkan dollar sebanyak mungkin. Alhasil, bentuk dan tata ruang tipe bangunan inipun merefleksikan kepentingan ekonomi yang berlawanan 180 derajat dari tipe bangunan eklesias seperti gereja. Inilah problem utama yang harus dihadapi saudara-saudara kita ketika membeli gedung komersial seperti ini untuk gereja: Bagaimana caranya memanfaatkan ruangan-ruangan kantor dan komersial dan mengubahnya untuk perkumpulan orang banyak dan beribadah. Dan kebanyakan dari mereka hampir tidak ada dana tambahan lagi untuk melakukan renovasi interior yang signifikan apalagi memakai jasa konsultan tata ruang professional.

Tapi pada akhirnya, para “interior designer” cabutan IFGF ini (dengan Business atau Computer Science degree mereka) selalu berhasil dan dengan kreatif mengerjakan-nya juga. Meskipun begitu, ruang-ruang kantor yang diadaptasikan menjadi ruang-ruang ibadah ini akan selalu menciptakan sebuat ketidakstabilan emosi untuk orang-orang yang hadir. Jemaat tidak akan merasakan suatu “kenyamanan” atau “ekspektasi” gereja yang telah dibentuk oleh kultur kolektif kita: Kultur evolusi tipe bangunan gereja selama 1600 tahun sejak orang-orang Kristen pertama kali secara luas meng-adaptasikan fungsi basilika Romawi yang mereka warisi sebagai bangunan gereja dan tempat beribadah.

Tapi justru ketidakstabilan emosi ini merupakan suatu “jump cut” kita melewati tumpukan tradisi dan budaya manusia selama 1600 tahun itu dan “connect” langsung dengan pengalaman Musa dan bangsa Israel di gurun Sinai. Sama seperti kita sekarang, tempat ibadah bangsa Israel tidak selalu berada ditempat yang ideal atau kondusif untuk beribadah. Mereka berhenti dan bergerak berdasarkan petunjuk Tuhan. Dan dimanapun mereka berhenti, mereka tetap beribadah sesuai dengan cara yang diperintahkan oleh Tuhan, meskipun kadang-kadang dengan menggerutu. Konsekuennya, bangsa Israel di gurun Sinai itu tidak mempunyai kesempatan untuk merasakan “kenyaman” beribadah dan hanya bisa (dan harus) fokus ke hal-hal yang paling essensial saja dalam menyembah dan berinteraksi dengan Tuhan. Menurut saya, efek ketidak-stabilan emosi atau “restlessness” dalam beribadah seperti itulah yang agak susah kita rasakan di arsitektur gereja yang “nyaman”. Tentu saja tidak ada yang salah mempunyai gedung gereja yang megah atau ruang ibadah yang layak, tapi sering kali kenyamanan itu bisa membuat kita pasif dan hanya menjadi “spectator”.

-----
Kesan Pertama, Bagian Kedua.

Dari awal masuk ke gereja IFGF LA saya sudah merasa seperti di gereja sendiri, meskipun tidak ada orang-orang yang saya kenal. Waktu itu timbul juga rasa sedih dan kangen dengan teman-teman yang lain di Columbus yang saya tahu juga sedang kebaktian pada saat yang bersamaan ribuan miles diatas sana. Ada beberapa observasi yang membuat saya merasa seperti gereja sendiri dan mungkin ini sudah menjadi ciri khas gereja-gereja IFGF di Amerika Serikat. Yah, pertama, saya datang telat 20 menit karena (ehm… gak bisa pakai alasan karena jemput Ray atau orang lain lagi), karena, saya masih baru dan belum terlalu tahu jalan.

Begitu datang saya disalamin usher yang gagah, tegap, berotot, tapi bermuka lucu. (Ciri khas #1: Usher rambo). Waktu masuk saya tidak merasa malu datang telat karena semua orang sedang memberi perhatian ke depan dan worship. Tips, saat paling tepat untuk datang ke gereja IFGF tanpa diperhatikan adalah saat mereka worship. (#2: Heavy priority on worship) Saya kemudian duduk di paling belakang yang artinya saya sebenarnya belum terlalu telat, soalnya orang yang telat banget harus duduk di paling depan. (#3: Selalu ada yang lebih telat datang.)

Setelah duduk, dan melirik sekeliling, saya mulai mengikuti sesi worship mereka. Tim musik sangat terampil dan aktif mengajak jemaat untuk berpartisipasi dalam worship. Mereka juga berpakaian rapi dan berdandan sederhana tapi cukup. (#4: Tim worship cantik, tampan, dan “talented”.) Mereka menggunakan audio-visual equipments paling mutakhir tapi dengan sensibiltas yang agak “off”. Dalam ruangan yang agak kecil itu, sound system terasa cukup keras dan sedikit menggebyar di telinga. Mereka juga menggunakan dua projector besar di ceiling yang diproyeksikan ke dinding yang tidak terlalu jauh. Diatas terpasang track dengan lampu-lampu sorot modern tapi dengan lighting arrangement yang sekilas mirip diskotik-diskotik dangdut di Jakarta 20 tahun yang lalu. Tapi yang paling penting adalah saya bisa langsung larut dalam suasana penyembahan dan terasa seperti Sydney Mohede dibelakang sana. Sebenarnya saya kurang tahu Sydney Mohede itu seperti apa. Cuma setelah kebaktian, worship leader bilang ke saya bahwa dia sempat mengira Sydney datang ke kebaktian dia ketika saya masuk tadi. (#5: Peralatan AV yang canggih tapi canggung)

Selesai kebaktian, saya mulai dikenalkan dan berkenalan dengan beberapa orang disana. Saya juga baru mengalami rasanya menjadi orang baru di gereja setelah sekian lama. Saya merasa sangat “vulnerable” dan “uncomfortable” kalau tidak diajak bicara oleh orang-orang sekitar. Dan sebaliknya, merasa lega kalau ada yang mengajak ngobrol meskipun cuma sekedar kenalan atau pembicaraan ringan. (#6: Suasana “after church” yang dingin untuk orang baru, awalnya).

Dari pengumuman setelah kebaktian saya mendapat informasi tentang aktifitas gereja untuk beberapa bulan kedepan. Salah satunya adalah misi mereka ke Nigeria dan “Blood Diamond” Sierra Leone. Usaha mereka ini meng-“encourage” saya tentang “passion” Ps. Dani dan jemaatnya yang tetap mau melayani Tuhan bahkan sampai ke Afrika ditengah-tengah suasana krisis global. Kemudian, ada pengumuman dari istri Ps. Dani untuk acara paskah yang akan datang. Acaranya akan dibuat dalam bentuk “live drama and musical performances” di sebuah teater di downtown. Dari yang saya dengar, acara paskah selalu menjadi acara paling besar untuk gereja disini. Mereka bahkan membayar professional scriptwriters dari Hollywood untuk membantu merangkai cerita untuk performance itu.

Istri Ps. Dani baru kembali dari Indonesia beberapa hari yang lalu setelah menguburkan ibunya. Dan dua minggu yang lalu dia, beserta Ps. Dani, juga baru menguburkan ibu mertuanya di sini. Saya kagum dengan dia karena diatas semua peristiwa itu dia tidak kelihatan sedih atau letih seperti orang yang baru kehilangan dua orang tua. Sebaliknya dia dengan semangat berterima kasih untuk dukungan dari jemaatnya dan memberikan kesaksian betapa ibunya tetap melayani Tuhan sampir akhir hidupnya. Dia mengutip dari 2 Timotius 4:7 dan mengatakan, seperti Paulus, ibunya “have fought the good fight… finished the race… kept the faith.”

Bagian terakhir dari kesaksian dia itulah yang paling membekas dan memberi inspirasi dihati saya untuk minggu ini. Saya, dan mungkin teman-teman pembaca yang lain, pasti ingin jika kita meninggal nanti, anak kita boleh bangga dan berkata bahwa orang tua mereka sudah ,”mengakhiri pertandingan yang baik… mencapai garis akhir dan… telah memelihara iman.”

Begitulah sekilas kesan-kesan pertama saya tentang gereja di LA.

Search This Blog